Opini
Latar Belakang
Latar Belakang
Motif pembunuhan aktivis hak asasi manusia, Munir Said Thalid, pada
7 September 2004 masih misterius hingga kini. Ada dugaan Munir dibunuh karena
memegang data penting seputar pelanggaran hak asasi manusia seperti pembantaian
di Talang Sari, Lampung, pada 1989, penculikan aktivis 1998, referendum Timor
Timur, hingga kampanye hitam pemilihan presiden 2004.
Menurut mantan
Deputi Bidang Perencanaan dan Pengendalian Operasi Badan Intelijen Negara Budi
Santoso, pernah ada rapat internal lembaganya membahas Munir. Direktur
Imparsial itu disebut akan menjual negara dengan data-datanya, yang ia bawa ke
Belanda untuk studi hukum di Utrecht Universiteit.
A.M Hendropriyono,
Kepala BIN 2001-2004, sudah menyangkal lembaga yang dipimpinnya mengincar
Munir. “Munir bukan orang yang membahayakan,” katanya. Hendro mengatakan tahun
2004 bahkan Munir sudah merapat ke kubu PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati
Soekarnoputri, presiden yang dekat dengannya.
Suciwati, istri
Munir, juga menyangkal dugaan ini. Sebelum berangkat Suciwati memeriksa laptop
yang dibawa suaminya. “Ketika dikembalikan setelah meninggal, saya periksa
isinya sama: tak ada data penting,” katanya. “Dokumen penting itu, ya, Munir
sendiri. Dia dokumen hidup.
Suciwati tak
percaya dugaan itu meski beberapa saat setelah kematian Munir, Deputi VII
Bidang Teknologi dan Informasi BIN Bijah Subiyanto, memberitahu secara samar
soal motif pembunuhan itu. “Coba periksa kasus-kasus besar yang ditangani
almarhum sebelum pergi,” katanya, mengutip Bijah.
Bijah meninggal pada 1 Juli 2009 di
Tiongkok, tanpa keterangan meyakinkan penyebab kematiannya. Menurut Suciwati,
Bijah secara rutin menghubunginya setelah kematian Munir. “Tiap Lebaran dia
mengirim SMS meminta maaf, Motif
pembunuhan juga dikaitkan dengan pemberantasan terorisme yang pada 2004 menjadi
agenda nasional. Indonesia menjadi bagian “War on Terror” yang dicetuskan
Amerika Serikat setelah serangan 11 September 2001. Munir kerap mempertanyakan
metode Detasemen Antiteror dan BIN menangkap para pelaku teror tanpa
mempertimbangkan hak asasi.
Pembahasan
Munir
Said Thalib lahir di Malang, Jawa
Timur, 8
Desember 1965 – meninggal di Jakarta di dalam pesawat jurusan ke Amsterdam, 7
September 2004 pada umur 38 tahun adalah seorang aktivis HAM Indonesia keturunan Arab-Indonesia. Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif Lembaga
Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial. Saat menjabat Dewan Kontras namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang
hilang yang diculik pada masa itu. Ketika itu dia membela para aktivis yang
menjadi korban penculikan Tim
Mawar dari Kopassus. Setelah Soeharto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Danjen Kopassus Prabowo
Subianto dan diadilinya para anggota tim
Mawar.
Munir begitulah
ia sering disapa, Seorang pria sederhana yang bersahaja. Ia adalah seorang
tokoh, seorang pejuang sejati, seorang pembela HAM di
indonesia. Pria kelahiran
Malang, 8 Desember 1965 ini adalah seorang aktivis muslim ekstrem yang kemudian
beralih menjadi seorang Munir yang menjunjung tinggi toleransi, menghormati
nilai-nilai kemanusiaan, anti kekerasan dan berjuang tanpa kenal lelah dalam
melawan praktik-praktik otoritarian serta militeristik. Ia adalah seorang
aktivis yang sangat aktif memperjuangkan hak-hak orang tertindas. Selama
hidupnya ia selalu berkomitmen untuk selalu membela siapa saja yang haknya
terdzalimi. Tidak gila harta, pangkat, jabatan, dan juga fasilitas. Ia membuktikannya
dengan perbuatan. Ketika ia mendapatkan hadiah ratusan juta rupiah sebagai
penerima "The Right
Livelihood Award" ia
tidak menikmatinya sendiri, melainkan membagi dua dengan Kontras, dan sebagian
lagi diserahkan kepada ibunda tercintanya. Di tengah maraknya pejabat berebut
fasilitas, Munir malah tidak tergoda. Ia tetap menggunakan sepeda motor sebagai
teman kerjanya. Seorang tokoh kelas dunia yang sangat bersahaja. Munir Said Thalib lahir di Malang, 8 Desember 1965. Ia
merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara Said Thalib dan Jamilah. Munir sempat berkuliah di Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya dan mendapat gelar sarjananya. Selama menjadi mahasiswa,
Munir dikenal sebagai aktivis kampus yang sangat gesit. Ia pernah menjadi Ketua
Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya pada tahun 1998,
Koordinator Wilayah IV Asosiasi Mahasiswa Hukum indonesia pada tahun
1989, anggota Forum Studi Mahasiswa untuk Pengembangan Berpikir Universitas
Brawijaya pada tahun 1988, Sekretaris Dewan Perwakilan Mahasiswa Hukum
Universitas Brawijaya pada tahun 1988, Sekretaris Al-Irsyad cabang Malang pada
1988, dan menjadi anggota Himpunan Mahsiswa Islam (HMI). 13 tahun berlalu, meninggalnya aktivis HAM Munir masih
menyisakan tanda tanya besar: siapa otak pembunuhan Munir? Presiden Joko Widodo
tidak tinggal diam dan memerintahkan Jaksa Agung HM Prasetyo dan Kapolri
Jenderal Tito Karnavian menelusuri kembali jejak kasus itu. Berikut kronologi panjang
kasus Munir seperti tercatat detikcom, Kamis: 7 September 2004 Munir
meninggal di atas pesawat Garuda dengan nomor GA-974 ketika sedang menuju
Amsterdam untuk melanjutkan kuliah pascasarjana. Munir meninggal dalam usia 39
tahun. 12 September 2004 Jenazah
Munir dimakamkan di kota Batu, Malang, Jawa Timur. 11 November 2004 Institut Forensik Belanda (NFI) membuktikan Munir meninggal akibat racun
arsenik dengan jumlah dosis yang fatal. 18 Maret 2005 Pollycarpus resmi ditetapkan sebagai tersangka dan
ditahan di rumah tahanan Mabes Polri. 5 April 2005 Polri menetapkan dua kru Garuda yaitu kru pentry Oedi
Irianto dan pramugari Yeti Susmiarti menjadi tersangka kasus Munir. 23
Juni 2005 Rekonstruksi kasus kematian
Munir dilakukan. 29 Juli 2005
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri
Jakarta Pusat melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN
Jakpus). Lantas PN Jakpus menetapkan 5 anggota majelis hakim untuk menangani
kasus Munir dengan tersangka Pollycarpus. Mereka adalah Cicut Sutiyarso
(ketua), Sugito, Liliek Mulyadi, Agus Subroto dan Ridwan Mansyur. 9 Agustus 2005 Pollycarpus didakwa melakukan pembunuhan berencana. Motif Pollycarpus
dalam membunuh Munir adalah demi menegakkan NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia) karena Munir banyak mengkritik pemerintah. 17 November 2005 Muchdi PR bersaksi di persidangan. Dia menyangkal punya hubungan dengan
Pollycarpus. 1 Desember 2005
JPU menuntut menuntut hukuman penjara seumur
hidup untuk Pollycarpus. 12 Desember
2005 PN Jakpus menjatuhi hukuman 14
tahun penjara kepada Pollycarpus. Ia dinyatakan terbukti melakukan pembunuhan
berencana terhadap Munir dengan cara memasukkan racun arsenik ke dalam mie
goreng yang disantap Munir saat penerbangan menuju Singapura. 27 Maret 2006 Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan
tetap menghukum 14 tahun penjara. 3
Oktober 2006 MA mengeluarkan
keputusan kasasi yang menyatakan Pollycarpus tidak terbukti melakukan tindak
pidana pembunuhan berencana terhadap Munir. Polly hanya terbukti bersalah menggunakan
surat dokumen palsu untuk perjalanan. Polly lantas hanya divonis 2 tahun
penjara. 3 November 2006 Polly dieksekusi dengan dijebloskan ke LP Cipinang.
25 Desember 2006 Pollycarpus bebas dari LP Cipinang setelah mendapat
remisi susulan 2 bulan dan remisi khusus satu bulan. 25 Januari 2007 MA mengabulkan permohonan PK yang diajukan kejaksaan terkait pembunuhan
aktivis HAM Munir. Polly divonis 20 tahun penjara. Ia menyatakan akan
mengajukan PK atas putusan PK tersebut. Februari
2008 Mantan Direktur Utama (Dirut) PT
Garuda Indonesia ini divonis satu tahun penjara di kasus tersebut. 19 Juni 2008 Muchdi
ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan Munir. Deputi V BIN/Penggalangan
(2001-2005) itu diduga kuat terlibat dalam pembunuhan berencana terhadap aktivis
HAM Munir. 11 Agustus 2008 Muchdi diserahkan ke Kejaksaan Agung. 31
Desember 2008 Majelis hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menvonis Muchdi PR bebas murni dari segala
dakwaan. 10 Juli 2009 MA menguatkan vonis bebas Muchdi PR. Duduk sebagia ketua
majelis kasasi Vallerine JL Krierkhof dengan anggota hakim agung Hakim Nyak Pha
dan Muchsin. 28 Januari 2010
MA menghukum Garuda Indonesia dengan mewajibkan
memberikan ganti rugi kepada Suciwati lebih dari Rp 3 miliar. 2 Oktober 2013 Polly mengajukan PK dan MA mengabulkannya dengan mengurangi Pollycarpus
dari 20 tahun menjadi 14 tahun penjara. Hingga berita ini diturunkan, pihak
berwenang MA belum membeberkan alasan pengurangan hukuman itu. 13 Oktober 2016 Presiden Joko Widodo meminta Jaksa Agung HM Prasetyo mengusut kasus
Munir lagi.
Seperti
yang dikatakan presiden dalam pertemuan dengan pakar dan praktisi hukum
beberapa waktu lalu, konteks kerangka yang lebih besar reformasi di bidang
hukum, salah satu yang ingin dilakukan pemerintahan sekarang adalah persoalan
persoalan masa lalu. Waktu itu yang disebut adalah kasus almarhum Munir.
Kasus pelanggaran HAM dalam pembunuhan Munir, hak yang di langgar dalam kasus munir
yaitu karena telah menghilangkan nyawa dengan sengaja atau sudah melanggar hak
untuk hidup dalam Pasal 28 "Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya".
Banyak
orang yang terlibat dalam kejadian itu. Orang pertama yang menjadi tersangka
pertama pembunuhan Munir (dan akhirnya terpidana) adalah Pollycarpus Budihari
Priyanto. Selama persidangan, terungkap bahwa pada 7 September 2004, seharusnya
Pollycarpus sedang cuti. Lalu ia membuat surat tugas palsu dan mengikuti
penerbangan Munir ke Amsterdam.
Dan Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur
dalam pasal 340 adalah “ Barang siapa sengaja dan dengan
rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan
dengan rencana ( moord ), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun".
Kasus Munir merupakan contoh lemahnya penegakan
HAM di Indonesia. Kasus Munir juga merupakan hasil dari sisa-sisa pemerintahan
orde baru yang saat itu lebih bersifat otoriter. Seharusnya kasus Munir ini
dijadikan suatu pelajaran untuk bangsa ini agar meninggalkan cara-cara yang
bersifat otoriter k arena setiap manusia atau warga Negara memiliki hak untuk
memperoleh kebenaran, hak hidup, hak memperoleh keadilan, dan hak atas rasa
aman. Sedangkan bangsa Indonesia saat ini memiliki sistem pemerintahan
demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi HAM seluruh masyarakat Indonesia.
Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono memberikan
jawaban terkait polemik keberadaan dokumen hasil penyelidikan tim pencari fakta
(TPF) kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib. Dalam konferensi pers di
kediamannya, SBY menyertakan sejumlah pejabat di Kabinet Indonesia Bersatu
(KIB) antara lain mantan Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, mantan Kepala BIN
Syamsir Siregar, mantan Kapolri Jenderal (Purn) Bambang Hendarso Danuri, mantan
Panglima TNI Jenderal (Purn) Djoko Suyanto dan mantan ketua TPF Kasus Munir,
Marsudhi Hanafi.
SBY menyatakan mendukung
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menyelesaikan perkara pembunuhan Munir. Dia
yakin jika memang perkara pembunuhan Munir belum dianggap memenuhi rasa
keadilan, selalu ada jalan untuk menemukan kebenaran. Oleh sebab itu, pihaknya
melalui Sudi Silalahi akan mengirim salinan dokumen TPF kepada Presiden Joko
Widodo.
Wakil Koordinator Komisi untuk Orang
Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Puri Kencana Putri mengatakan, ada
dua hal yang harus dipahami oleh Presiden Joko Widodo dari pernyataan SBY.
Menurut Puri, hal pertama yang
ditekankan oleh SBY saat konferensi pers adalah dokumen TPF merupakan dokumen
projustisia. "Artinya harus ditindaklanjuti. Step-nya adalah penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan," ujar Puri saat ditemui di kantor Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Hal kedua, kata Puri, menyangkut
proses hukum kasus pembunuhan Munir. Puri menuturkan, secara jelas SBY
menyatakan dukungannya terhadap setiap upaya penuntasan kasus Munir yang akan
dilakukan oleh Presiden Jokowi. Dalam konferensi persnya, SBY mengatakan bahwa
pemerintah tidak boleh menutup pintu kebenaran. Proses hukum kasus Munir saat
masa pemerintahan SBY pun tidak dihentikan.
Dengan demikian, setelah salinan
dokumen TPF diterima, maka Presiden Jokowi wajib mengungkap isi dokumen
tersebut ke publik, sekaligus memerintahkan kepolisian dan kejaksaan
melanjutkan proses hukum kasus Munir. Jelas bahwa selalu ada pintu untuk
mencari kebenaran dalam kasus Munir. Artinya proses hukum tidak bisa
dihentikan.
Selain itu, Puri mengatakan bahwa
pemerintah harus membentuk tim penyelidik untuk memeriksa mantan Kepala Badan
Intelijen Negara AM Hendropriyono. Hal itu diperkuat dengan pernyataan Mantan
Ketua TPF kasus Munir, Marsudhi Hanafi, bahwa perkara pembunuhan Munir belum
tuntas. Masih ada pihak yang diduga kuat terlibat pembunuhan itu yang lolos
dari proses hukum.
Mantan Kepala Badan Intelejen Negara
(BIN) A.M Hendropriyono adalah orang yang dimaksud. Marsudhi menegaskan, nama
Hendropriyono disebut dalam dokumen TPF Munir. Dokumen itu telah diserahkan
kepada SBY pada akhir Juni 2005. Kemudian, dibagikan ke Kapolri, Jaksa Agung,
Kepala BIN, Menkumham dan Menteri Sekretariat Negara.
Proses hukum polisi setelah itu
kemudian berujung pada penetapan sejumlah orang sebagai tersangka. Di antaranya
adalah Pollycarpus Budihari Priyanto dan Muchdi Pr.
Namun, Marsudhi mengakui bahwa
proses penyidikan perkara pembunuhan Munir kala itu tidak sampai menyentuh nama
Hendropriyono. Sementara itu menurut Puri, dalam dokumen hasil penyelidikan tim
pencari fakta (TPF) kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib, ada lima
orang yang diduga terlibat dalam kasus tersebut.
Kelima orang itu adalah Indra
Setyawan, Ramelga Anwar, Muchdi PR, Bambang Irawan dan AM Hendropriyono. Namun,
hanya Hendropriyono yang belum pernah diperiksa hingga saat ini. Sementara
empat nama lainnya telah diperiksa di era pemerintahan Presiden SBY. "Dia
(mantan ketua TPF) sebut lima nama di sana. Nama-nama yang sudah diadili,
kecuali satu nama AM Hendropriyono. Jadi Pemerintah harus membentuk tim
penyelidik, periksa Hendropriyono," kata Puri "Meskipun Hendropriyono
pernah menyangkal keterlibatannya dalam kasus tersebut, hal itu bukan berarti
yang bersangkutan bebas dari proses pemeriksaan," ujarnya.
Muncul kasus kasus baru dalam perhatian masyarakat adalah bertujuan
untuk mengalihkan serta menurunkan tensi perhatian alias fokus masyarakat
kepada satu kasus besar.
Ada banyak perbincangan
pengalihan kasus kematian munir, salah satumya Kegaduhan terkait SBY dengan
dokumen Munir adalah salah satu contoh bagaimana ada upaya menurunkan tensi
perhatian masyarakat dengan menggunakan kekuatan yang bertarung dalam Pilgub
DKI Jakarta. Bagaimanapun SBY adalah salah satu kekuatan yang saat ini ikut
bertarung dalam Pilgub DKI Jakarta, menyeret namanya dalam satu kasus maka itu
akan memberi efek bola salju yaitu akan menyeret juga perhatian pendukung calon
gubernur Agus H Yudhoyono.
Sebelumnya pendukung
AHY ikut memberikan perhatian kepada kasus penistaan agama yang dilakukan oleh
Ahok dengan adanya kegaduhan soal SBY dengan kasus penistaan agama yang
dilakukan oleh Ahok dengan adanya kegaduhan soal SBY dengan dokumen terkait
munir yang hilang, maka dengan sendirinya perhatian teralihkan untuk memberikan
komentar terkait masalah yang dihadapi oleh Yudhoyono yang lainnya yaitu SBY.
Ini sebuah teknik
pengalihan perhatian yang sudah biasa dilakukan kegaduhan itu untuk menarik
perhatian yang sedang focus menunggu kepastia hukum terkait penistaan agama
yang dilakukan Ahok.
Mungkin semua pihak
harus bisa jelas melihat inti dari masalah yaitu ini soal kasus penistaan agana
yang dilakukan Ahok dan belum mendapatkan kepastian hukum atau proses hukumnya.
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta aparat kepolisian mengusut kasus
dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok).
Ketua DPP Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Johnny G Plate menanggapi
permintaan Presiden Keenam RI tersebut. Johnny mengaku apa yang dikatakan oleh
SBY malah membuat dirinya bertanya-tanya. Pasalnya, SBY terlihat ikut
mengintervensi kasus hukum yang membelit Ahok.
Digaris bawahi
bahwa masalah terkait Ahok adalah masalah hukum namun nuansa politik lebih
dominan.Wakil
Ketua Fraksi Partai Nasdem di DPR tersebut berharap, ikut campurnya Presiden
Keenam dalam kasus Ahok bukan untuk pengalihan isu terkait hilangnya dokumen
asli hasil investigasi Tim Pencari Fakta (TPF) atas kasus kematian aktivis Hak
Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib. Mudah-mudahan bukan skenario pengalihan
isu dari masalah HAM Munir yang mencuat kembali.
Sebelumnya,
Ketua Umum Partai Demokrat SBY mengaku proses penegakan hukum terhadap Gubernur
DKI Jakarta nonaktif, Ahok harus dilakukan fair dan adil. Menurut SBY penegakan
hukum ada di tangan pihak kepolisian, bukan ada di Presiden Joko Widodo
(Jokowi), organisasi masyarakat (ormas) ataupun Partai Demokrat sendiri. Oleh
sebab itu, Partai Demokrat mengharapkan penegakan hukum terhadap Ahok bisa berjalan
dengan sebagaimana mestinya.
Kini tanah air
juga dihebohkan dengan
isu hilangnya dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Munir. Menurut Mantan
Anggota TPF, Hendardi, mengatakan isu hilangnya dokumen TPF sebagai ajang
politik dalam rangka pengalihan isu situasi politik saat ini. “Karena
mengangkat kasus ini tidak mudah, paling diangkat kalau ulang tahun Munir atau
tanggal kematian Munir. Makanya karena ada kasus hilangnya dokumen, bagi kami
menjadi ada momentum untuk mengingatkan publik agar menolak lupa dan mendesak
proses hukum kasus ini dituntaskan,”.
Dalam
keterangannya, Hendardi menekankan belum ditemukannya dokumen asli TPF Munir
bukan alasan untuk tidak mengungkapkan salinan dokumen yang telah diterima
pemerintah. Saya kira kalau itu bisa diverifikasi sama dengan dokumen asli maka
tidak ada alasan memperpanjang, meskipun dokumen asli tetap harus dicari.
Perlu
diketahui, hilangnya dokumen kasus Munir terjadi di jaman pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono. Sedangkan era kepemimpinan Presiden Jokowidodo,
pemerintah menyatakan untuk mengusut tuntas kasus HAM Munir Tersebut.
Tidak sampai disini
masih banyak perdebatan tentang pengalihan isu. Tudingan penahanan Muchdi PR merupakan upaya
pemerintah mengalihkan perhatian masyarakat dari polemik kenaikan BBM, dinilai
tidak proposional. Proses hukum kasus pembunuhan Munir berlangsung sejak
September 2004. Demikian penilaian Mensesneg Hatta Rajasa menanggapi
sinisme sebagian kalangan terhadap penetapan dan penahanan Munchdi PR sebagai
tersangka kasus Munir.
"Bagaimana pengalihan isu? Kasus Munir ini kan
diperiksa tahunan, dan peristiwanya sendiri terjadi sebelum masa pemerintahan
SBY," tukas Hatta menjawab pertanyaan wartawan di Istana Negara, Jakarta.
Ditegaskannya, Presiden pada aparat terkait
selalu menekankan penuntasan proses hukum kasus yang berumur hampir 4 tahun
itu. Menindaklanjuti perkembangan baik ini, Mensesneg minta masyarakat memberi
waktu pada kepolisian melakukan penyidikan.
Meski diadukan ke polisi, Koordinator Komisi untuk
Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), Usman Hamid, tidak akan mencabut
pernyatannya bahwa mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi PR
adalah pembunuh aktivis kemanusiaan Munir. Muchdi mengadukan Usman kepada
polisi dengan alasan pencemaran nama baik. "orang akui bahwa mereka pernah menyatakan Muchdi
sebagai pembunuh Munir, dan mereka yakin sampai sekarang Muchdi memang pembunuh
Munir Usman menegaskan, pembunuhan
Munir adalah konsprasi yang melibatkan banyak instansi dan orang. Menurut
Usman, Muchdi adalah salah seorang yang terlibat. "Mereka menegaskan,
bahwa tidak akan mencabut pernyataan sebelumnya tentang motif dia membunuh karena
dipaksa mundur. Sampai hari ini sejumlah orang yakin Muchdi dibebas tugaskan
sebagai Danjen Kopassus karena kasus penculikan aktivis dimana dia terlibat..
Ia mempersilakan Muchdi mengadukkanya ke polisi.
Sementara itu istri Munir, Suciwati, mengatakan,
pengaduan pihak Muchdi atas dirinya merupakan upaya pengalihan agar kasus Munir
terlupakan. "Itu hanya pengalihan isu. Saya sih tak peduli. Dulu Usman dan
Rachland (aktivis Kontras) juga dulu dilaporkan Hendropriyono (mantan Kepala
BIN) namun tak terbukti," ucapnya ringan. Suciwati menegaskan, akan tetap
fokus mencari kebenaran dalam kasus pembunuhan suaminya.
Komentar
Posting Komentar