Langsung ke konten utama

Kasus Kematian Munir



Opini
Latar Belakang
Motif pembunuhan aktivis hak asasi manusia, Munir Said Thalid, pada 7 September 2004 masih misterius hingga kini. Ada dugaan Munir dibunuh karena memegang data penting seputar pelanggaran hak asasi manusia seperti pembantaian di Talang Sari, Lampung, pada 1989, penculikan aktivis 1998, referendum Timor Timur, hingga kampanye hitam pemilihan presiden 2004.

Menurut mantan Deputi Bidang Perencanaan dan Pengendalian Operasi Badan Intelijen Negara Budi Santoso, pernah ada rapat internal lembaganya membahas Munir. Direktur Imparsial itu disebut akan menjual negara dengan data-datanya, yang ia bawa ke Belanda untuk studi hukum di Utrecht Universiteit.
A.M Hendropriyono, Kepala BIN 2001-2004, sudah menyangkal lembaga yang dipimpinnya mengincar Munir. “Munir bukan orang yang membahayakan,” katanya. Hendro mengatakan tahun 2004 bahkan Munir sudah merapat ke kubu PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri, presiden yang dekat dengannya.
Suciwati, istri Munir, juga menyangkal dugaan ini. Sebelum berangkat Suciwati memeriksa laptop yang dibawa suaminya. “Ketika dikembalikan setelah meninggal, saya periksa isinya sama: tak ada data penting,” katanya. “Dokumen penting itu, ya, Munir sendiri. Dia dokumen hidup.
Suciwati tak percaya dugaan itu meski beberapa saat setelah kematian Munir, Deputi VII Bidang Teknologi dan Informasi BIN Bijah Subiyanto, memberitahu secara samar soal motif pembunuhan itu. “Coba periksa kasus-kasus besar yang ditangani almarhum sebelum pergi,” katanya, mengutip Bijah.
Bijah meninggal pada 1 Juli 2009 di Tiongkok, tanpa keterangan meyakinkan penyebab kematiannya. Menurut Suciwati, Bijah secara rutin menghubunginya setelah kematian Munir. “Tiap Lebaran dia mengirim SMS meminta maaf, Motif pembunuhan juga dikaitkan dengan pemberantasan terorisme yang pada 2004 menjadi agenda nasional. Indonesia menjadi bagian “War on Terror” yang dicetuskan Amerika Serikat setelah serangan 11 September 2001. Munir kerap mempertanyakan metode Detasemen Antiteror dan BIN menangkap para pelaku teror tanpa mempertimbangkan hak asasi.

Pembahasan

Munir Said Thalib lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965 – meninggal di Jakarta di dalam pesawat jurusan ke Amsterdam, 7 September 2004 pada umur 38 tahun adalah seorang aktivis HAM Indonesia keturunan Arab-Indonesia. Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial. Saat menjabat Dewan Kontras namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang hilang yang diculik pada masa itu. Ketika itu dia membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus. Setelah Soeharto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Danjen Kopassus Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota tim Mawar.
Munir begitulah ia sering disapa, Seorang pria sederhana yang bersahaja. Ia adalah seorang tokoh, seorang pejuang sejati, seorang pembela HAM di indonesia. Pria kelahiran Malang, 8 Desember 1965 ini adalah seorang aktivis muslim ekstrem yang kemudian beralih menjadi seorang Munir yang menjunjung tinggi toleransi, menghormati nilai-nilai kemanusiaan, anti kekerasan dan berjuang tanpa kenal lelah dalam melawan praktik-praktik otoritarian serta militeristik. Ia adalah seorang aktivis yang sangat aktif memperjuangkan hak-hak orang tertindas. Selama hidupnya ia selalu berkomitmen untuk selalu membela siapa saja yang haknya terdzalimi. Tidak gila harta, pangkat, jabatan, dan juga fasilitas. Ia membuktikannya dengan perbuatan. Ketika ia mendapatkan hadiah ratusan juta rupiah sebagai penerima "The Right Livelihood Award" ia tidak menikmatinya sendiri, melainkan membagi dua dengan Kontras, dan sebagian lagi diserahkan kepada ibunda tercintanya. Di tengah maraknya pejabat berebut fasilitas, Munir malah tidak tergoda. Ia tetap menggunakan sepeda motor sebagai teman kerjanya. Seorang tokoh kelas dunia yang sangat bersahaja. Munir Said Thalib lahir di Malang, 8 Desember 1965. Ia merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara Said Thalib dan Jamilah. Munir sempat berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dan mendapat gelar sarjananya. Selama menjadi mahasiswa, Munir dikenal sebagai aktivis kampus yang sangat gesit. Ia pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya pada tahun 1998, Koordinator Wilayah IV Asosiasi Mahasiswa Hukum indonesia pada tahun 1989, anggota Forum Studi Mahasiswa untuk Pengembangan Berpikir Universitas Brawijaya pada tahun 1988, Sekretaris Dewan Perwakilan Mahasiswa Hukum Universitas Brawijaya pada tahun 1988, Sekretaris Al-Irsyad cabang Malang pada 1988, dan menjadi anggota Himpunan Mahsiswa Islam (HMI). 13 tahun berlalu, meninggalnya aktivis HAM Munir masih menyisakan tanda tanya besar: siapa otak pembunuhan Munir? Presiden Joko Widodo tidak tinggal diam dan memerintahkan Jaksa Agung HM Prasetyo dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian menelusuri kembali jejak kasus itu. Berikut kronologi panjang kasus Munir seperti tercatat detikcom, Kamis: 7 September 2004 Munir meninggal di atas pesawat Garuda dengan nomor GA-974 ketika sedang menuju Amsterdam untuk melanjutkan kuliah pascasarjana. Munir meninggal dalam usia 39 tahun. 12 September 2004 Jenazah Munir dimakamkan di kota Batu, Malang, Jawa Timur. 11 November 2004 Institut Forensik Belanda (NFI) membuktikan Munir meninggal akibat racun arsenik dengan jumlah dosis yang fatal. 18 Maret 2005 Pollycarpus resmi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di rumah tahanan Mabes Polri. 5 April 2005 Polri menetapkan dua kru Garuda yaitu kru pentry Oedi Irianto dan pramugari Yeti Susmiarti menjadi tersangka kasus Munir. 23 Juni 2005 Rekonstruksi kasus kematian Munir dilakukan. 29 Juli 2005 Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Lantas PN Jakpus menetapkan 5 anggota majelis hakim untuk menangani kasus Munir dengan tersangka Pollycarpus. Mereka adalah Cicut Sutiyarso (ketua), Sugito, Liliek Mulyadi, Agus Subroto dan Ridwan Mansyur. 9 Agustus 2005 Pollycarpus didakwa melakukan pembunuhan berencana. Motif Pollycarpus dalam membunuh Munir adalah demi menegakkan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) karena Munir banyak mengkritik pemerintah. 17 November 2005 Muchdi PR bersaksi di persidangan. Dia menyangkal punya hubungan dengan Pollycarpus. 1 Desember 2005 JPU menuntut menuntut hukuman penjara seumur hidup untuk Pollycarpus. 12 Desember 2005 PN Jakpus menjatuhi hukuman 14 tahun penjara kepada Pollycarpus. Ia dinyatakan terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir dengan cara memasukkan racun arsenik ke dalam mie goreng yang disantap Munir saat penerbangan menuju Singapura. 27 Maret 2006 Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan tetap menghukum 14 tahun penjara. 3 Oktober 2006 MA mengeluarkan keputusan kasasi yang menyatakan Pollycarpus tidak terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan berencana terhadap Munir. Polly hanya terbukti bersalah menggunakan surat dokumen palsu untuk perjalanan. Polly lantas hanya divonis 2 tahun penjara. 3 November 2006 Polly dieksekusi dengan dijebloskan ke LP Cipinang. 25 Desember 2006 Pollycarpus bebas dari LP Cipinang setelah mendapat remisi susulan 2 bulan dan remisi khusus satu bulan. 25 Januari 2007 MA mengabulkan permohonan PK yang diajukan kejaksaan terkait pembunuhan aktivis HAM Munir. Polly divonis 20 tahun penjara. Ia menyatakan akan mengajukan PK atas putusan PK tersebut. Februari 2008 Mantan Direktur Utama (Dirut) PT Garuda Indonesia ini divonis satu tahun penjara di kasus tersebut. 19 Juni 2008 Muchdi ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan Munir. Deputi V BIN/Penggalangan (2001-2005) itu diduga kuat terlibat dalam pembunuhan berencana terhadap aktivis HAM Munir. 11 Agustus 2008 Muchdi diserahkan ke Kejaksaan Agung. 31 Desember 2008 Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menvonis Muchdi PR bebas murni dari segala dakwaan. 10 Juli 2009 MA menguatkan vonis bebas Muchdi PR. Duduk sebagia ketua majelis kasasi Vallerine JL Krierkhof dengan anggota hakim agung Hakim Nyak Pha dan Muchsin. 28 Januari 2010 MA menghukum Garuda Indonesia dengan mewajibkan memberikan ganti rugi kepada Suciwati lebih dari Rp 3 miliar. 2 Oktober 2013 Polly mengajukan PK dan MA mengabulkannya dengan mengurangi Pollycarpus dari 20 tahun menjadi 14 tahun penjara. Hingga berita ini diturunkan, pihak berwenang MA belum membeberkan alasan pengurangan hukuman itu. 13 Oktober 2016 Presiden Joko Widodo meminta Jaksa Agung HM Prasetyo mengusut kasus Munir lagi.
Seperti yang dikatakan presiden dalam pertemuan dengan pakar dan praktisi hukum beberapa waktu lalu, konteks kerangka yang lebih besar reformasi di bidang hukum, salah satu yang ingin dilakukan pemerintahan sekarang adalah persoalan persoalan masa lalu. Waktu itu yang disebut adalah kasus almarhum Munir.
Kasus pelanggaran HAM dalam pembunuhan Munir, hak yang di langgar dalam kasus munir yaitu karena telah menghilangkan nyawa dengan sengaja atau sudah melanggar hak untuk hidup dalam Pasal 28  "Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya".
Banyak orang yang terlibat dalam kejadian itu. Orang pertama yang menjadi tersangka pertama pembunuhan Munir (dan akhirnya terpidana) adalah Pollycarpus Budihari Priyanto. Selama persidangan, terungkap bahwa pada 7 September 2004, seharusnya Pollycarpus sedang cuti. Lalu ia membuat surat tugas palsu dan mengikuti penerbangan Munir ke Amsterdam.
Dan Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah  Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana ( moord ), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun".
Kasus Munir merupakan contoh lemahnya penegakan HAM di Indonesia. Kasus Munir juga merupakan hasil dari sisa-sisa pemerintahan orde baru yang saat itu lebih bersifat otoriter. Seharusnya kasus Munir ini dijadikan suatu pelajaran untuk bangsa ini agar meninggalkan cara-cara yang bersifat otoriter k arena setiap manusia atau warga Negara memiliki hak untuk memperoleh kebenaran, hak hidup, hak memperoleh keadilan, dan hak atas rasa aman. Sedangkan bangsa Indonesia saat ini memiliki sistem pemerintahan demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi HAM seluruh masyarakat Indonesia.
Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono memberikan jawaban terkait polemik keberadaan dokumen hasil penyelidikan tim pencari fakta (TPF) kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib. Dalam konferensi pers di kediamannya, SBY menyertakan sejumlah pejabat di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) antara lain mantan Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, mantan Kepala BIN Syamsir Siregar, mantan Kapolri Jenderal (Purn) Bambang Hendarso Danuri, mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Djoko Suyanto dan mantan ketua TPF Kasus Munir, Marsudhi Hanafi.
SBY menyatakan mendukung pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menyelesaikan perkara pembunuhan Munir. Dia yakin jika memang perkara pembunuhan Munir belum dianggap memenuhi rasa keadilan, selalu ada jalan untuk menemukan kebenaran. Oleh sebab itu, pihaknya melalui Sudi Silalahi akan mengirim salinan dokumen TPF kepada Presiden Joko Widodo.
Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Puri Kencana Putri mengatakan, ada dua hal yang harus dipahami oleh Presiden Joko Widodo dari pernyataan SBY.
Menurut Puri, hal pertama yang ditekankan oleh SBY saat konferensi pers adalah dokumen TPF merupakan dokumen projustisia. "Artinya harus ditindaklanjuti. Step-nya adalah penyelidikan, penyidikan dan penuntutan," ujar Puri saat ditemui di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Hal kedua, kata Puri, menyangkut proses hukum kasus pembunuhan Munir. Puri menuturkan, secara jelas SBY menyatakan dukungannya terhadap setiap upaya penuntasan kasus Munir yang akan dilakukan oleh Presiden Jokowi. Dalam konferensi persnya, SBY mengatakan bahwa pemerintah tidak boleh menutup pintu kebenaran. Proses hukum kasus Munir saat masa pemerintahan SBY pun tidak dihentikan.
Dengan demikian, setelah salinan dokumen TPF diterima, maka Presiden Jokowi wajib mengungkap isi dokumen tersebut ke publik, sekaligus memerintahkan kepolisian dan kejaksaan melanjutkan proses hukum kasus Munir. Jelas bahwa selalu ada pintu untuk mencari kebenaran dalam kasus Munir. Artinya proses hukum tidak bisa dihentikan.
Selain itu, Puri mengatakan bahwa pemerintah harus membentuk tim penyelidik untuk memeriksa mantan Kepala Badan Intelijen Negara AM Hendropriyono. Hal itu diperkuat dengan pernyataan Mantan Ketua TPF kasus Munir, Marsudhi Hanafi, bahwa perkara pembunuhan Munir belum tuntas. Masih ada pihak yang diduga kuat terlibat pembunuhan itu yang lolos dari proses hukum.
Mantan Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) A.M Hendropriyono adalah orang yang dimaksud. Marsudhi menegaskan, nama Hendropriyono disebut dalam dokumen TPF Munir. Dokumen itu telah diserahkan kepada SBY pada akhir Juni 2005. Kemudian, dibagikan ke Kapolri, Jaksa Agung, Kepala BIN, Menkumham dan Menteri Sekretariat Negara.
Proses hukum polisi setelah itu kemudian berujung pada penetapan sejumlah orang sebagai tersangka. Di antaranya adalah Pollycarpus Budihari Priyanto dan Muchdi Pr.
Namun, Marsudhi mengakui bahwa proses penyidikan perkara pembunuhan Munir kala itu tidak sampai menyentuh nama Hendropriyono. Sementara itu menurut Puri, dalam dokumen hasil penyelidikan tim pencari fakta (TPF) kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib, ada lima orang yang diduga terlibat dalam kasus tersebut.
Kelima orang itu adalah Indra Setyawan, Ramelga Anwar, Muchdi PR, Bambang Irawan dan AM Hendropriyono. Namun, hanya Hendropriyono yang belum pernah diperiksa hingga saat ini. Sementara empat nama lainnya telah diperiksa di era pemerintahan Presiden SBY. "Dia (mantan ketua TPF) sebut lima nama di sana. Nama-nama yang sudah diadili, kecuali satu nama AM Hendropriyono. Jadi Pemerintah harus membentuk tim penyelidik, periksa Hendropriyono," kata Puri "Meskipun Hendropriyono pernah menyangkal keterlibatannya dalam kasus tersebut, hal itu bukan berarti yang bersangkutan bebas dari proses pemeriksaan," ujarnya.
Muncul kasus kasus baru dalam perhatian masyarakat adalah bertujuan untuk mengalihkan serta menurunkan tensi perhatian alias fokus masyarakat kepada satu kasus besar.
Ada banyak perbincangan pengalihan kasus kematian munir, salah satumya Kegaduhan terkait SBY dengan dokumen Munir adalah salah satu contoh bagaimana ada upaya menurunkan tensi perhatian masyarakat dengan menggunakan kekuatan yang bertarung dalam Pilgub DKI Jakarta. Bagaimanapun SBY adalah salah satu kekuatan yang saat ini ikut bertarung dalam Pilgub DKI Jakarta, menyeret namanya dalam satu kasus maka itu akan memberi efek bola salju yaitu akan menyeret juga perhatian pendukung calon gubernur Agus H Yudhoyono.
Sebelumnya pendukung AHY ikut memberikan perhatian kepada kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok dengan adanya kegaduhan soal SBY dengan kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok dengan adanya kegaduhan soal SBY dengan dokumen terkait munir yang hilang, maka dengan sendirinya perhatian teralihkan untuk memberikan komentar terkait masalah yang dihadapi oleh Yudhoyono yang lainnya yaitu SBY.
Ini sebuah teknik pengalihan perhatian yang sudah biasa dilakukan kegaduhan itu untuk menarik perhatian yang sedang focus menunggu kepastia hukum terkait penistaan agama yang dilakukan Ahok.
Mungkin semua pihak harus bisa jelas melihat inti dari masalah yaitu ini soal kasus penistaan agana yang dilakukan Ahok dan belum mendapatkan kepastian hukum atau proses hukumnya.
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta aparat kepolisian mengusut kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Ketua DPP Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Johnny G Plate menanggapi permintaan Presiden Keenam RI tersebut. Johnny mengaku apa yang dikatakan oleh SBY malah membuat dirinya bertanya-tanya. Pasalnya, SBY terlihat ikut mengintervensi kasus hukum yang membelit Ahok.
Digaris bawahi bahwa masalah terkait Ahok adalah masalah hukum namun nuansa politik lebih dominan.Wakil Ketua Fraksi Partai Nasdem di DPR tersebut berharap, ikut campurnya Presiden Keenam dalam kasus Ahok bukan untuk pengalihan isu terkait hilangnya dokumen asli hasil investigasi Tim Pencari Fakta (TPF) atas kasus kematian aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib. Mudah-mudahan bukan skenario pengalihan isu dari masalah HAM Munir yang mencuat kembali.
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Demokrat SBY mengaku proses penegakan hukum terhadap Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Ahok harus dilakukan fair dan adil. Menurut SBY penegakan hukum ada di tangan pihak kepolisian, bukan ada di Presiden Joko Widodo (Jokowi), organisasi masyarakat (ormas) ataupun Partai Demokrat sendiri. Oleh sebab itu, Partai Demokrat mengharapkan penegakan hukum terhadap Ahok bisa berjalan dengan sebagaimana mestinya. 
Kini tanah air juga dihebohkan dengan isu hilangnya dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Munir. Menurut Mantan Anggota TPF, Hendardi, mengatakan isu hilangnya dokumen TPF sebagai ajang politik dalam rangka pengalihan isu situasi politik saat ini. “Karena mengangkat kasus ini tidak mudah, paling diangkat kalau ulang tahun Munir atau tanggal kematian Munir. Makanya karena ada kasus hilangnya dokumen, bagi kami menjadi ada momentum untuk mengingatkan publik agar menolak lupa dan mendesak proses hukum kasus ini dituntaskan,”.
Dalam keterangannya, Hendardi menekankan belum ditemukannya dokumen asli TPF Munir bukan alasan untuk tidak mengungkapkan salinan dokumen yang telah diterima pemerintah. Saya kira kalau itu bisa diverifikasi sama dengan dokumen asli maka tidak ada alasan memperpanjang, meskipun dokumen asli tetap harus dicari.
Perlu diketahui, hilangnya dokumen kasus Munir terjadi di jaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sedangkan era kepemimpinan Presiden Jokowidodo, pemerintah menyatakan untuk mengusut tuntas kasus HAM Munir Tersebut.
Tidak sampai disini masih banyak perdebatan tentang pengalihan isu. Tudingan penahanan Muchdi PR merupakan upaya pemerintah mengalihkan perhatian masyarakat dari polemik kenaikan BBM, dinilai tidak proposional. Proses hukum kasus pembunuhan Munir berlangsung sejak September 2004. Demikian penilaian Mensesneg Hatta Rajasa menanggapi sinisme sebagian kalangan terhadap penetapan dan penahanan Munchdi PR sebagai tersangka kasus Munir.
"Bagaimana pengalihan isu? Kasus Munir ini kan diperiksa tahunan, dan peristiwanya sendiri terjadi sebelum masa pemerintahan SBY," tukas Hatta menjawab pertanyaan wartawan di Istana Negara, Jakarta. Ditegaskannya, Presiden pada aparat terkait selalu menekankan penuntasan proses hukum kasus yang berumur hampir 4 tahun itu. Menindaklanjuti perkembangan baik ini, Mensesneg minta masyarakat memberi waktu pada kepolisian melakukan penyidikan.
Meski diadukan ke polisi, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), Usman Hamid, tidak akan mencabut pernyatannya bahwa mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi PR adalah pembunuh aktivis kemanusiaan Munir. Muchdi mengadukan Usman kepada polisi dengan alasan pencemaran nama baik. "orang akui bahwa mereka pernah menyatakan Muchdi sebagai pembunuh Munir, dan mereka yakin sampai sekarang Muchdi memang pembunuh Munir  Usman menegaskan, pembunuhan Munir adalah konsprasi yang melibatkan banyak instansi dan orang. Menurut Usman, Muchdi adalah salah seorang yang terlibat. "Mereka menegaskan, bahwa tidak akan mencabut pernyataan sebelumnya tentang motif dia membunuh karena dipaksa mundur. Sampai hari ini sejumlah orang yakin Muchdi dibebas tugaskan sebagai Danjen Kopassus karena kasus penculikan aktivis dimana dia terlibat..
Ia mempersilakan Muchdi mengadukkanya ke polisi. Sementara itu istri Munir, Suciwati, mengatakan, pengaduan pihak Muchdi atas dirinya merupakan upaya pengalihan agar kasus Munir terlupakan. "Itu hanya pengalihan isu. Saya sih tak peduli. Dulu Usman dan Rachland (aktivis Kontras) juga dulu dilaporkan Hendropriyono (mantan Kepala BIN) namun tak terbukti," ucapnya ringan. Suciwati menegaskan, akan tetap fokus mencari kebenaran dalam kasus pembunuhan suaminya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biografi dan Pengalaman Ustad Wijayanto

BIOGRAFI DAN PENGALAMAN DR. H. AHMAD WIJAYANTO, MA Siapa sih yang tidak kenal dengan Ustadz Wijayanto? Ustadz yang terkenal dengan ceramah dan humor cerdasnya ini, pasti sudah banyak dikenal oleh semua khalayak. Ustadz Wijayanto juga identik dengan ceramahnya yang dicampur dengan komedi yang kritis, sesuai dengan realita yang ada. DR. H. Ahmad Wijayanto lahir di Solo tanggal 27 Desember 1968. Tinggi 165 cm dan berat badan 72 kg. Dia tinggal di Pesantren Bina Anak Sholeh, Jalan Wirosaban Barat Nomor 5, Umbulharjo Yogyakarta. Dia menikah pada tahun 1997 istrinya bernama Ulaya Ahdiani, Lahir pada tanggal25 Februari 1973. Memiliki 3 anak, anak pertama bernama Dzikrina Iffa Yohanida, lahir pada tanggal 6 Oktober 2001, anak kedua bernama Muhammad Nufail Naisaburi, lahir pada tanggal 8 Desember 2001, dan anak ketiga bernama Muhammad Naja El-Ghifari, lahir pada tanggal 11 Juli 2006 . Dia  menjadi Dosen Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada Pengasuh Utama Pesantren Bina Anak Sho

Hadits Tentang Persaudaraan

1. Hadits persaudaraan dalam islam a.        Persaudaraan bagaikan satu badan عن النعمان بن بشير يقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ترى المؤمنين فى تراحمهم وتوادهم وتعاطفهم كمثل الجسد إذا اشتكى عضوا تداعى له سائر جسده با لسهر والحمى       An-Nu’man bin Basyir ra meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Engkau  akan melihat kaum mukminin dalam kasih saying, kecintaan, dan lemah lembut mereka bagaikan satu badan, jika satu anggotanya sakit, menjalarlah kepada anggota yang lain sehingga tidak dapat tidur dan badannya terasa panas” (Diriwayatkan al-Bukhari)       Tidak dapat disangkal bahwa ikatan yang mempersatukan manusia berbeda dalam bentuk dan rupa. Manusia dikelompokkan sesuai dengan suku, bangsa, negara, dan kebangsaannya. Ikatan kekeluargaan atau berasal dari nenek moyang yang sama dipandang sebagai salah satu ikatan yang membentuk basis masyarakat manusia paling awal. Islam menempatkan ikatan keimanan sebagai dasar yang paling utama untuk mengikat manusia bersama-s